Jumat, 18 Desember 2015

Pengaruh Teori Hegemoni terhadap Media Masa di Indonesia


Seperti telah disinggung di atas bahwa teori hegemoni sangat berperan dalam pembacaan teks budaya popular secara kualitatif, khususnya terkait pembongkaran teks dan produksi teks media menu menurut metodologi semiotika sosial atau analisis wacana kritis. 


Artinya, pembacaan hegemoni dalam teks media bisa dimulai dengan menganalisis artefak-artefak yang diperlihatkan situs-situs budaya popular (baca: media). Setelah itu, rupa hegemoni itu akan makin jelas dengan pengamatan langsung pada produksi teks budaya.

Berdasarkan pendekatan analisis wacana kritis (terutama yang dikembangkan Halliday dan Hassan), Penulis akan menguraikan sekilas kondisi media di Tanah Air, melalui pembacaan medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse). 

Sejak bergulirnya era reformasi tidak bisa dipungkiri lagi topik-topik politik menjadi primadona atau pilihan medan wacana media. Lebih dari 30 tahun dikerangkeng dalam penjara Pers Pancasila (baca: otoritarian ala Orde Baru) membuat media hiruk-pikuk merayakan alam bebas berpolitik, berpendapat, dan berdemokrasi. Pemberlakukan Undang-undang Pers membuat media merasa memiliki alasan untuk menikmati kebabasan itu seakan berada di alam liberalism. Seiring dengan itu, aroma modernitas dan hedonism yang dimunculkan media esek-esek atau bernuansa pornografi juga tak tertahan. Intinya, khalayak makin dihadapkan banyak pilihan terhadap hegemoni-hegemoni baru di era reformasi, persis seperti disinggung salah satu poin di atas: berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Euforia media cetak yang ditandai kemudahan mendapatkan SIUPP itu juga dihadang masalah baru soal makin berpesta-poranya juga media televisi dalam memainkan medan wacana. Wacana-wacana yang didesain dengan makna khusus (baca: memburu jumlah tiras di media cetak atau rating dan share di media elektronik) seakan menjadi pembuktian kebenaran model komunikasi televisual ilmuwan dari Mazhab Birmingham Stuart Hall melalui publikasi dalam Encoding and Decoding the Televisual Discourse. Bahwa jauh sebelum teks budaya popular itu disuntikkan kepada khalayak, sesungguhnya media telah “menyiapkan” wacana yang “bermakna”. Dan “wacana bermakna” itu adalah pencapaian tiras serta rating dan share.

Singkatnya, awal orde reformasi merupakan perayaan hegemoni media paling akbar yang pernah terjadi di Tanah Air. Media, apa pun jenisnya, berkesempatan mengumbar kekuasaan-kekuasaan kelas minoritasnya yang diyakini bakal mengusai kelas mayoritas yang disinggung Jean Boudrillard sebagai mayoritas yang diam—massa yang tidak membutuhkan kekuasaan untuk mendominasi, memperjuangan ideologi leluhur, menguasai territorial, akan tetapi kekuasaan untuk mengekspresikan diferensi (perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, dan sebagainya).

Belakangan hegemoni itu, terutama media televisi, makin disemarakkan perayaan hedonisme dan upaya memuaskan mayoritas yang diam tadi. Teks budaya yang dihidangkan media merupakan artefak-artefak yang jauh pemenuhan nilai estetis. Program berita menjadi tidak percaya diri dan ikut berlomba bak program infotainment demi memburu rating dan share.Pemunculan kasus video porno mirip artis di seluruh program berita di televisi menjadi pembuktian matinya nilai estetis dan objektivitas yang selama beratus-ratus menjadi nilai sakral para jurnalis.

Dan kalau melirik program hiburan, maka teks budaya itu makin memperlihatkan keberadaan hegemoni yang berkiblat pada ekonomi politik media. Misalnya saja, program Bukan Empat Matadi Trans7 yang menempatkan pelawak jebolan Srimulat Tukul Arwana sebagai host dari kalangan modern: dengan wardrobe yang berganti-ganti dan bermerk, gaya bertutur yang mencoba cerdas dengan sesekali menyelipkan kosa kata bahasa Inggris, etika pergaulan seperti kalangan modern lengkap dengan “cipika-cipiki”nya, tamu-tamu dialog dari kalangan selebritas yang juga tak kalah modis dan glamor, keakraban dengan teknologi komputer, dan tepuk-tangan penonton yang diminta mengamini pencitraan modernnya. Simbol-simbol itu sudah cukup menjelaskan premis program bahwa fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman se”kaum”, dan gempita perhatian orang lain, akan mencitrakan kaum modernitas. Bahkan, tanpa menimbang latar belakang atau “tampilan” sejatinya.

Atau, nikmati juga perayaan penciptaan efek mitologisasi itu dalam panggung megah Indonesia Mencari Bakat (IMB) di layarTransTV. Di bawah gemerlap lampu berkekuatan ribuan Watt, properti yang disulap mengikuti tema-tema tertentu, busana dan kostum para peserta yang tidak main-main, tata rias dan model rambut peserta yang mengubahnya menjadi “orang lain”, iringan grup musik yang luar biasa, juri-juri yang merupakan ikon-ikon budaya populer dengan pencitraan modernnya, juga riuh penonton sebagai penyaksi langsung penobatan ikon-ikon budaya popular baru itu. Dalam tempo delapan bulan, nama-nama Klantink, Putri Ayu, Brandon, Hudson, Rumingkang, dan sejumlah nama atau kelompok lain, ber”metamorfosis” tanpa bisa diduga dan dibendung. Khalayak tidak pernah mempertanyakan latar belakang atau kondisi nyata mereka, meski sesekali stasiun itu memutar video tape (VT) kondisi nyata mereka. Tiba-tiba, panggung megah itu menyulapnya menjadi “selebritas” atau mitos-mitos baru panggung hiburan, dengan “framing” standar: fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman se”kaum”, dan gempita perhatian orang lain.

Kedua program itu juga menjadi pembuktian keberhasilan penerapan komodifikasi yang oleh Vincent Mosco dilukiskan sebagai cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sehingga program televisi, dalam bingkai ekonomi politik media, mesti dikomodifikasi sebagai komoditas yang benar-benar disukai khalayak (content comodification), meski hal itu sesungguhnya bukan kebutuhan khalayak. Bahkan, khalayak pun dijadikan komoditas yang bukan sebatas dipaksa menimati pencitraan produk-produk yang diiklankan dalam dalam commercial break, tapi juga dipancing untuk mengirimkan short message service (SMS) dengan ongkos yang tak murah.

Menurut Penulis, itulah gambaran kekuasaan hegemoni di dunia pertelevisian saat ini. Sedangkan media cetak masih terus berjuang dengan framing politik atau berupaya juga bermain di wilayah ekonomi. Analisis framing, analisis wacana kritis, analisis semiotika, atau pendekatan cultural studies, akan membongkar rupa-rupa hegemoni di balik teks-teks media yang diproduksi media di Tanah Air.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar